Kelimutu Yang Indah

Akhirnya aku berkesempatan melihat danau Kelimutu yang terkenal itu. Sebenarnya lebih tepatnya, disempat-sempatkan karena aku sudah berada di Indonesia Timur saat itu, jadi mau sekalian ceritanya. Setelah berkunjung ke Wae Rebo, semua teman-teman seperjalananku kembali ke Labuan Bajo untuk meneruskan wisata ke Taman Nasional Komodo. Aku tidak mengikuti rombongan teman karena baru 3 bulan sebelumnya, aku dan keluarga berwisata ke Taman Nasional Komodo selama 4 hari. Masih melekat di ingatan keindahan Pulau Komodo, pantai dan lautnya. Kapan-kapan lagi, kami kembali kesana.

Aku ikut teman-temanku ke Labuan Bajo tapi teman-temanku menuju pelabuhan sedang aku menuju bandara. Aku berhasil mengajak suamiku untuk berlibur akhir minggu di Kupang. Jadi kami janjian bertemu di bandara Ngurah Rai, untuk lanjut terbang ke Ende. Aku bersemangat karena akan bertemu suami dan berkunjung ke Ende pertama kali.

Sebenarnya aku ingin lebih lama di Ende, bila perlu menyambung lagi via perjalanan darat ke daerah lainnya di Nusa Tenggara Timur. Berhubung suamiku hanya bisa cuti 1 hari dan anak-anak juga lagi musim ulangan tengah semester, ya cukuplah 2 hari saja di Ende.

Aku telah memesan mobil sewaan beserta supir yang bisa menjadi pemandu wisata (guide) juga. Julio nama guide kami, sudah mengingatkan dari satu minggu sebelumnya, bahwa hanya provider Telkomsel yang signalnya bagus di Ende. Jangan sampai, begitu aku tiba di Ende, tidak bisa menghubungi ataupun dihubungi Julio. Yaaa…. aku kan sejak lama pakai SIM Card dari Indosat, kan repot ya ganti-ganti nomor. Tolonglah provider selain Telkomsel, tambah jaringan di Nusa Tenggara Timur, ini harapanku. Masih bersyukur suami memakai 2 SIM Card dan salah satunya Telkomsel, jadi aku tidak perlu membeli yang baru. Urusan komunikasi dan on line ini sangat penting bagi pejalan (traveller). Bukan buat update status dan foto (ini fungsi ke berapa bagi aku), tapi buat mencari informasi, lokasi dan berkomunikasi. Kalau bisa memanfaatkan teknologi untuk membantu hidup kita, kenapa tidak memanfaatkan semaksimal mungkin. Catatannya, jalur internet dan komunikasinya juga harus super bagus. Indonesia masih harus banyak berbenah diri di bidang ini, menurut aku pribadi.

Aku bertemu suamiku di bandara Ngurah Rai dan kami berlanjut lagi terbang menuju bandara H. Hasan Aroeboesman di kota Ende. Alhamdulillah, perjalanan tepat waktu dan begitu mendarat, Julio sudah menanti kami. Kami memilih menginap di desa Moni, yaitu desa di kaki gunung Kelimutu dan berlokasi terdekat menuju Kelimutu. Tujuan utama kami memang ingin melihat Danau Kelimutu.

Selama perjalanan ke Moni, Julio menceritakan pengalamannya membawa tamu-tamu. Yang paling menggiurkan adalah perjalanan daratnya dari Maumere di sebelah Timur propinsi Nusa Tenggara Timur ke Labuan Bajo di sebelah Barat. Melewati derah Ruteng di tengah. Kami cuma berharap semoga ada kesempatan, Insya Allah, karena pada dasarnya aku dan suami sangat suka perjalanan darat mengendarai mobil. Selama perjalanan banyak tempat-tempat yang bisa dieksplorasi namun kendalanya kami harus menyediakan waktu yang panjang untuk perjalanan darat yang bisa dinikmati.

Selain itu Julio juga menawarkan berhenti di tempat-tempat yang pemandangannya indah yang bisa dilihat dari pinggir jalan. Aku tidak ambisius ingin mengunjungi banyak tempat karena sadar waktu kunjungan kami lumayan singkat. 

Kami menginap di rumah penduduk yang menyewakan kamar untuk wisatawan (homestay). Kami harus istirahat malam itu karena besok pagi kami akan berangkat dini hari untuk melihat matahari terbit. Udaranya lumayan dingin karena desa Moni terletak di kaki gunung (tingginya kurang lebih 700m di atas permukaan laut).

Dini hari jam 3.30, Julio sudah menjemput kami. Kondisi di luar hotel masih gelap gulita, namun demi mendapat pemandangan indah kami rela saja berangkat gelap-gelap. Kami hanya berharap disana tidak berkabut dan matahari terbit bisa dilihat. Dalam 20 menit saja, kami sudah sampai di pintu masuk Taman Nasional Kelimutu. Untuk menuju danau Kelimutu, kami harus trekking dari pintu masuk kurang lebih 30 menit dengan berjalan santai. Jalan menuju danau Kelimutu tidak curam dan mudah dijalani.

Saat aku trekking sudah terasa kabut mulai turun. Kami sudah siap kalau pas matahari terbit udara diselimuti kabut. Paling-paling fotonya kurang indah dan bisa-bisa danau tertutup kabut juga. Melihat destinasi wisata di alam terbuka, harus siap dengan kondisi alam yang kurang bisa dinikmati misalnya berkabut tebal, hujan lebat, angin kencang. Rejeki-rejekian kata orang. Aku berpikir sederhana saja, alhamdulillah bisa sampai disana, nikmati saja apa yang bisa dinikmati. Siapa tahu lain waktu bisa kesana lagi untuk melihat pemandangan yang lebih baik.

Begitu kami sampai di sekitar danau, kabut semakin tebal dan sulit untuk melihat dari kejauhan. Danau hanya bisa dilihat dari jauh karena ada pagar yang membatasi, demi keamanan. Tunggu punya tunggu sang surya terbit, tidak ada tanda-tanda terlihat, karena kabut malah semakin tebal. Memang kami belum dapat rejeki buat melihat sang surya terbit di Danau Kelimutu. Bukan sekali ini saja kami tidak berhasil melihat matahari terbit tanpa terhalang kabut, kami pernah mengalami yang hal yang sama di Bromo dan Bukit Sikunir (Dieng).

Kami bisa melihat matahari setelah terbit tinggi dan agak terang, kabut mulai menipis dan kami bisa melihat keindahan danau. Dua danau terletak berdekatan, keduanya berwarna biru toska sangat cerah dan indah. Sedangkan satu danau terletak agak terpisah dan warnanya biru gelap. Nama ketiga danau tersebut, lumayan sulit dihafal yaitu Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, Tiwu Ata Polo dan Tiwu Ata Mbupu. Warna danau bisa berubah tergantung kondisi gunung dan material yang terdapat di dalam di danau (menurut pakar). Dari foto yang diambil oleh Kementrian Lingkungan Hidup & Kehutanan, terlihat bahwa danau pernah berwarna merah, putih, biru terang, biru gelap. Penduduk lokal percaya bahwa danau Kelimutu adalah tempat bersemayamnya arwah orang meninggal.

Berhubung kabut cukup tebal, pemandangan yang kami lihatpun agak terbatas. Kabut sempat hilang sesaat namun tidak berapa lama turun kembali dan menebal. Setelah cukup puas melihat pemandangan yang bisa dilihat kami trekking turun menuju gerbang masuk Taman Nasional Kelimutu.

Kami kembali menuju penginapan untuk sarapan dan berkemas karena sore harinya kami pulang ke Jakarta. Kami ‘check out’ dari penginapan dan rencananya Julio akan membawa kami ke desa adat Wolongai. Julio telah memperhitungkan waktu agar kami tidak terlambat ke bandara.

Dalam waktu sejam saja kami sudah sampai desa Wolongai. Di pintu masuk, kami disambut pohon beringin tua yang akarnya sudah meruak kesamping. Rumah adat berbentuk seperti kerucut yang atasnya terpotong, beratap ijuk. Ada beberapa rumah berjejer, sangat unik dan antik. Aku suka sekali melihat rumah adat di Indonesia, semua dibangun mengikuti kearifan lokal dengan filosofi dan makna tertentu. Semoga selalu terjaga rumah-rumah tradisonal tersebut. Baru saja aku mengunjungi Wae Rebo dengan rumah adat Mbaru Niang dan di Wolongai menemui rumah adat dengan bentuk lain yang sama uniknya. Di desa tersebut terdapat juga batu tersusun seperti panggung untuk tempat acara adat.

Kami melihat-lihat desa Wolongai didampingi bapak Aloysius Leta, seorang warga desa Wolongai yang piawai membuat patung ukiran dari kayu. Konon desa Wolongai telah berumur kurang lebih 800 tahun. Bagus ya masih terjaga sampai saat ini.

Begitulah perjalanan singkat aku ke Ende. Aku masih berkeinginan berkunjung ke Taman Nasional Kelimutu lagi, berharap dapat melihat danau Kelimutu saat udara cerah.

Iklan

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Gambar Twitter

You are commenting using your Twitter account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s